Rabu, 01 September 2021

BLACK CLOVER ENDING - ANSWER (LIRIK)

 

 

BLACK CLOVER ENDING - ANSWER

 

Akirameru koto mo warui koto janai tte

Anata wa itsumo waratte iu kedo

Te wo nobaseba todoku nara

Tsumuida ima made wo muda ni suru wake ni wa ikanai

 

Nando datte kuyande

Nando datte aruku

Sono tabi ni tsukihanasareru kara

 

Seikai no nai tabi wo shiyou

Kaete yuku koto ni kowagaru hitsuyou wa nai kara

Seikai no nai nichijou e

Soko de wa kitto hitori janai

 

Machigai wo machigai de owarasenai de

Namida wo namida de nuguwanai de

Kakushin ga aru sono kokoro ga sakenderu

Koko nara mou hitori janai

 

Yareba dekiru kara akiramecha dame da tte

Nando mo kokoro de warau kedo

Kujike-sou ni narun da yo

Harisake-sou ni narun da yo

Nani mo mienaku naru toki mo aru nda

 

Nando datte kuyanda

Nando datte tachidomatta

Sono tabi ni anata ga iru kara

 

Seikai no nai tabi ni shiyou

Kawatte yuku hibi ni nageku hitsuyou wa nai kara

Akiramecha dame da yo to

Sono koe ga naru hou e

 

Seikai no nai tabi wo shiyou

Mahou ga nakute mo kowagaru hitsuyou wa nai nda

Nee dou dai kono nichijou wa

Koko de wa zutto hitori janai

 

Machigai wo machigai to omowanai de

Namida wo namida de mitasanai de

Kakushin ga aru sono kokoro ga sakenderu

Koko nara mou hitori janai

 

AKU ADA UNTUK MU (Melanie subono ft Luks Superglad)


F               C                      Dm               Bb

Gelapnya malam telah datang lagi

        Dm           G7                  C
Saat ku berani tuk membuka mataku

Bb                           Dm
Tanpa terang yang membuat aku melihatmu
G                                  C

Melihat kamu yang selalu ingin ku miliki


F           C                      Dm                             Bb
Birunya langit yang menuntun langkahku

               Dm           G7                  C
Berjalan dan berjalan dalam kesendirian

Bb                               Dm
Tak pernah lagi ku ingin menutup mataku

Bb              G                                     C
Karena kau akan slalu hadir dimimpiku

Reff:

F                    Dm
Ku tahu rasa yang slalu dihatimu

Bb              G                   C
Melangkah mendekatlah raih kedua tanganku ini
F                        Dm

Tak selamanya langitmu akan kelam

Bb              G                   C
Karena ku telah berjanji tuk slalu ada untukmu

Led :   Bb Dm  Bb Gm7  C

F Dm  Bb Gm7  C

F Dm  Bb Gm  C

Bb

 

                        D
Ajari ku berbagi

                        Bb
Ajari ku merasa

Gm                         C                                 F
Karena ku berjanji tuk slalu ada untukmu

                                                                                          Back to Reff: 

BENTROK ANTAR NELAYAN DAERAH DI INDONESIA KASUS KONFLIK ATAS SUMBERDAYA ALAM

Pengantar

Berkonflik adalah suatu situasi yang terjadi apabila seseorang atau sekelompok orang menunjukkan praktek-praktek untuk menghilangkan pengakuan (hak) orang atau kelompok lainnya mengenai benda atau kedudukan yang diperebutkan. Sumber-sumber konflik di Indonesia pada umumnya berkaitan dengan konflik data, konflik nilai, konflik hubungan sosial dan psikologi, dan konflik kepentingan. Yang terakhit tersebut berkenaan dengan pemuasan kebutuhan dan cara untuk memenuhinya mengorbankan orang lain, serta persaingan yang tidak sehat.

Wujud konflik dapat tertutup (latent), mencuat (emerging), dan terbuka (manifest). Konflik tertutup dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak konflik. Konflik mencuat adalah perselisihan di mana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi dan diakui ada perselisihan, permasalahan secara umum sudah jelas walaupun proses negosiasi dan penyelesaian masalah belum berkembang. Konflik terbuka ditandai oleh pihak-pihak yang berselisih sudah terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai untuk bernegosiasi atau mungkin juga mengalami jalan buntu.

Konflik atas sumber daya alam (hutan, laut, dan tambang) tampaknya akan terus mencuat dan terbuka setelah lama tertutup di masa pemerintahan orde baru. Di beberapa kawasan tertentu, konflik atas sumber daya alam yang mencuat bergeser menjadi tuntutan politik yang lebih geras terhadap pemerintah, atau sebagai medan perang antar kelompok etnis dan agama. Komponen spesifik konflik sumber daya alam mencakup hubungan antara kelompok-kelompok yang mengakses sumber daya alam, perbedaan teknologi masing-masing kelompok, dan tingkat keberagaman hot-spot dalam sumber daya alam. Ketiga komopenen spesifik tersebut dapat dilihat secara nyata terjadi dalam konflik nelayan antar daerah yang belakangan marak di berbagai belahan tanah air.

El Fatih A. Abdel Salam dalam artikel yang berjudul ‘Kerangka Teoritis Penyelesaian Konflik’ menyebutkan bahwa terdapat dua pendekatan yang berlawanan mengenai teori konflik, yaitu: pendekatan klasik dan pendekatan behavioris. Pendekatan klasik memusatkan diri pada analisis tataran makro. Perhatiannya tertumpu pada analisa interaksi antar kelompok. Kelompok-kelompok ini dapat dibagi ke dalam berbagai sempalan berdasar, antara lain: nasional, institusional, etnis, kelas, dan ideologis. Ahli teori klasik menaruh perhatian pada interaksi antar kelompok pada tataran sadar (conscious level). Sedangkan kaum behavioris memusatkan diri pada tataran mikro, dengan individu, bukan kelompok, sebagai unit kajiannya. Kaum behavioris mengkaji faktor ketidaksadaran (the unconscious) untuk memahami faktor-faktor motif yang tak terungkapkan.

Asumsi umum teori klasik adalah bahwa akar konflik berasal dari persaingan kelompok dan pengejaran kekuasaan dan sumber-sumber. Asumsi-asumsi ini beroperasi pada factor-faktor motivasi sadar dalam lingkungan yang berorientasi material. Teori klasik menggunakan pengamatan-pengamatan fenomena kelompok pada suatu peristiwa untuk mempelajari masalahnya secara mendalam, dan menentukan pentingnya dan hubungan-hubungan banyak variabel ketimbang hanya menggunakan segelintir variabel untuk banyak kasus.

Perairan Kabupaten Bengkalis (Riau)

Pada tanggal 15 Juni 2006 terjadi bentrokan fisik antara nelayan tradisional rawai (pancing) dengan kapal jaring kurau (jaring batu) di Kabupaten Bengkalis, Riau. Korban satu orang tewas dan puluhan orang luka-luka.  Konflik di perairan yang dipersengketakan itu merupakan kelanjutan dari kasus pembakaran 10 kapal yang dilakukan nelayan jaring Rawai pada Agustus tahun 2005.

Bentrokan tersebut merupakan pertikaian lama antara nelayan jaring rawai (tradisional) dengan kelompok nelayan jaring batu (kapal ukuran besar). Pertikaian ini terjadi di tengah laut Bengkalis atau di wilayah Selat Malaka yang melibatkan kelompok jaring rawai dari Desa Pambang, Kecamatan Bantan dengan nelayan kelompok jaring batu dari Desa Kedabu, Kecamatan Rangsang di Bengkalis.

Peristiwa ini terjadi tengah malam ketika nelayan jaring rawai melihat dua kapal dari kelompok jaring batu memasuki wilayah laut untuk mencari tangkapan ikan. Dari sana, nelayan rawai mencoba untuk membuntuti dengan delapan kapal hingga ke tengah laut tepatnya di perairan Muntai, Kecamatan Bantan. Perairan yang memang merupakan wilayah jelajah nelayan rawai. Mereka langsung mengepung dua kapal jaring batu, yakni KM Nelayan Jaya dan KM Usaha Baru sehingga kedua kapal jaring batu tersebut tidak dapat bergerak. Kapal-kapal jaring rawai merapat ke kapal milik jaring batu yang kemudian membakar kapal KM Nelayan Jaya, sedangkan KM Usaha Baru berhasil diselamatkan Polisi Air Bengkalis.

Bentrok semacam ini bukan pertama atau kedua kali terjadi, tetapi dua tahun terakhir konflik ini terus meruncing. Pertikaian biasanya berbuntut pada pembakaran kapal dan pemukulan. Namun bentrok yang terakhir ini sampai menelan korban jiwa. Sengketa lahan pencarian ikan ini sudah berlangsung sejak 20 tahun silam. Ini bermula dari kelompok jaring rawai yang merasa keberatan dengan kelompok jaring batu. Nelayan jaring batu dituding menghancurkan habitat laut karena jaring mereka panjangnya bisa lebih dari 1,8 km.

Konflik ini sudah pernah ditangani pemerintah setempat. Namun Pemerintah Kabupaten Bengkalis tidak bisa mencari solusi terbaik dalam mengatasi konflik sesama nelayan ini. Walhi Riau menduga sulitnya Pemkab Bengkalis melarang jaring batu beroperasi karena sebagian dari kapal-kapal jaring batu itu milik para pejabat. Selain itu, toke jaring batu juga memberi upeti kepada aparat.

Di lapangan WALHI Riau menemukan masih banyak jaring kurau yang beroperasi di perairan yang dipersengketakan dan tidak ada proses penegakan hukum yang dijalankan. M. Teguh Surya, koordinator tim advokasi penyelesaian konflik nelayan rawai menyebutkan ada beberapa penyebab mengapa konflik ini tak terselesaikan dan telah berumur 23 tahun. Pertama, indikasi keterlibatan pejabat dan aparat keamanan jelas; Kedua, sistem pemerintahan di Kabupaten Bengkalis; dan Ketiga, Pemkab. Bengkalis dan Pemprov Riau menganggap ini persoalan biasa dibandingkan dengan persoalan investasi dan tidak menjadi prioritas untuk dituntaskan.

Hasil penelitian WALHI mengungkapkan bahwa nelayan tradisional Bengkalis Riau telah dirugikan setidaknya Rp12,000,000,000 (dua belas milyar rupiah) per bulan akibat beroperasinya kapal-kapal jaring batu di perairan tradisional. Spesies ikan Kurau yang menjadi incaran para pengusaha perikanan sudah semakin langka keberadaannya. Kapal-kapal jaring batu terbukti tidak memiliki ijin penangkapan, baik dari pemerintah kabupaten, propinsi maupun pemerintah pusat. Ini jelas terkait dengan pelanggaran perikanan atau lebih dikenal dengan IUU (illegal, unreported, unregulated) yang cukup rapi, karena hingga hari ini ikan Kurau masih marak diperdagangkan oleh para pengusaha ke Singapura dan Malaysia dengan harga berkisar Rp300,000- (tiga ratus ribu rupiah) dan tanpa/tidak pernah ada kontribusi apa-apa kepada pemerintah daerah maupun nasional.

Bentrokan di perairan Bantan itu berimbas pada seluruh nelayan di Bengkalis. Mereka khawatir bakal ada serangan balik dari kelompok jaring batu. Hal serupa juga terjadi pada kelompok nelayan jaring batu. Mereka juga enggan melaut karena takut ada serangan kembali dari nelayan tradisional. Apalagi ketika terjadi bentrok, kelompok jaring batu merupakan sasaran amuk masa nelayan jaring Rawai yang jumlahnya jauh lebih banyak.

Pemda Bengkalis dan Pemprov Riau telah membuat Surat Keputusan (SK) yang melarang jaring batu beroperasi di wilayah Bengkalis. Kalau pun tetap beroperasi, pihak pemda telah menetapkan batasan jaring batu harus menangkap ikan di atas 4 mil dari pantai. Tetapi kelompok nelayan jaring batu menggunakan izin penangkapan ikan dari Pemda Kabupaten Karimun, Provinsi Kepri. Semestinya nelayan jaring batu tidak boleh beroperasi di Riau, tetapi kenyataannya yang terjadi mendapat izin dari Kepri dan mencari ikan di perairan Bengkalis, Riau.

Sebenarnya pihak aparat dapat menertipkan izin penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan areal tangkapan dan menyatakan bahwa jaring kurau tersebut ilegal dan dilarang beroperasi di perairan yang dipersengketakan, serta melakukan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Konflik sesama nelayan yang menelan korban jiwa harus diselesaikan lewat jalur hukum bila tidak ingin bentrok susulan terjadi kembali.

Perairan Kalimantan Timur

Pertikaian antar nelayan di Perairan Kalimantan Timur terjadi kembali pada pertengahan bulan Mei 2005 dan tidak terdapat korban jiwa. Menurut laporan Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanlut) Jateng kepada Direktur Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (Dirjen PSDKP), pertikaian terjadi di Perairan Kaltim pada 1160 38' Bujur Timur dan 040 00' Lintang Selatan. Posisi geografis ini berada pada jarak 20-30 mil dari garis pantai terdekat. Karena berjarak lebih dari 12 mil dari garis pantai ke arah laut lepas, daerah ini bebas dimanfaatkan oleh nelayan manapun dengan tetap memerhatikan peraturan tangkap.

Kapal porssein miliki nelayan Jawa Tengah yang dibakar sebenarnya sudah memiliki izin dari pemerintah Pusat sehingga dapat beroperasi di atas 12 mil. Tetapi nelayan Balikpapan protes karena mereka menggunakan sinar lampu penangkap ikan yang hingga kini belum diatur batasannya. Kapal nelayan Jawa Tengah juga sempat bersandar di Balikpapan dengan alasan karena kehabisan bahan bakar minyak (BBM).

Menurut Bambang Wicaksana, Sekretaris Asosiasi Perikanan Indonesia (Aperin),  mayoritas Nelayan Jawa Tengah berasal dari Kabupaten/Kota Pekalongan dan Pati telah memiliki surat izin usaha perikanan (SIUP) dan surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan atau surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI). Selain itu, sudah ada kesepakatan bersama antara Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jateng, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Tujuan kesepakatan adalah untuk penataan, pengendalian, dan pengawasan, serta pembinaan terhadap pemanfaatan sumber daya ikan, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri.

Munculnya konflik itu membuktikan bahwa implementasi forum amat rapuh meskipun masing-masing provinsi telah menyosialisasikan kesepakatan itu, karena bagi nelayan butuh waktu untuk mengerti sehingga bisa menerapkannya. Konflik antara nelayan Balikpapan dengan nelayan asal Juana, Pati, Jawa Tengah mestinya tak terjadi. Apalagi sampai melakukan pembakaran kapal milik nelayan pendatang tersebut. Konflik semacam tak akan terjadi jika antar nelayan saling menghormati dan menggunakan kapal tangkapannya sesuai izin jalur yang diberikan pemerintah. Selain itu, nelayan juga jangan sampai menggunakan alat tangkap yang dilarang, seperti: menggunakan trawl (Pukat harimau), bom, listrik, atau racun.

Pemerintah sesungguhnya sudah mengatur batasan kewenangan dalam pengelolaan laut. Meski demikian, perlu diingat bahwa laut merupakan kawasan open akses. Semua kawasan itu bisa dilalui asalkan menaati jalur dan izin sesuai kewenangan daerah setempat. Batasan kewenangan kawasan laut dibagi atas pemerintah kabupaten dan kota, provinsi dan pemerintah Pusat. Pemerintah kabupaten dan kota memiliki kewenangan di bawah batasan 4 mil dari garis pantai dengan kapasitas kapal tangkapan di bawah 10 GT (gross ton). Pemerintah Provinsi dari 4 sampai 12 mil dengan kapasitas kapal 10 sampai 30 GT. Sedangkan pemerintah Pusat berwenang di atas 12 mil hingga batasan zona ekonomi eksklusif (ZEE) atau 200 mil dari garis pantai. Kapal yang diberikan izin di kawasan ini adalah kapal dengan kapasitas di atas 30 GT. Kapal pun sudah diatur kapasitasnya. Sehingga ini dimaksudkan untuk memberikan batasan wilayah tangkapan dan antarnelayan bisa saling mengerti dan menghormati.

Perairan Selat Makassar

Nelayan dari Jawa Tengah terpaksa melaut semakin menjauhi garis pantai Jateng karena hasil tangkapan ikan semakin berkurang, sehingga hal ini menyebabkan sering terjadi bentrokan antar nelayan. Nelayan Jateng yang melaut di Selat Makassar ditakut-takuti oleh nelayan tradisional yang tinggal di sekitar Selat Makassar dengan cara memasang bom. Bom-bom tersebut ada yang meledak beberapa meter dari kapal nelayan Jateng. Dengan demikian nelayan Jateng berhenti mencari ikan di Selat Makassar dan kembali ke daerah asal mereka.

Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Tegal, Sumito mengemukakan bahwa pada tanggal 7 Januari 2006bom dilempar dari perahu tradisional yang melaju dengan kecepatan tinggi di sekitar Kapal Karunia Jaya yang dinakhodai Wasjan dan membawa 40 awak kapal.

Selain itu, kapal nelayan asal Tegal juga ditolak dan Pekalongan  di Selat Makassar dan Kapal Motor Mina Fajar Indah juga dibom sekelompok orang.  Dianataranaya ada bom yang dipasang mengenai kapal nelayan asal Pemalang, tetapi tak ada korban jiwa.

Perairan Selat Bali

 

Surat Keputusan (SK) Gubernur nomor 9 tahun 1983 tentang larangan nelayan andon yang menggunakan alat purse scine (Jaring yang ditarik dengan kapal mesin) dilarang mencari ikan di Selat Bali perlu penyempurnaan, karena menimbulkan diskriminasi antar nelayan di Jatim dan menimbulkan kecemburuan sosial para nelayan yang ingin menangkap ikan di selat tersebut. Permasalahan nelayan andon juga terkait dengan SKB Gubernur Jatim dan Gubernur Bali tahun 1992.

 

Nelayan andon adalah nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut dengan menggunakan kapal perikanan berukuran tidak lebih dari 30 gross tonnage (GT) atau mesinnya yang berkekuatan tidak lebih dari 90 daya kuda (DK). Daerah penangkapan nelayan tersebut berubah-ubah atau berpindah-pindah sehingga nelayan andon berpangkalan atau berbasis sementara waktu tetapi dalam waktu yang relatif lama dipelabuhan perikanan di luar daerah asal nelayan tersebut. Pemanfaatan Sumber Daya Ikan (SDI) secara berpindah pindah ini jika tidak ditata dan dikendalikan akan berpeluang menimbulkan konflik antara sesama nelayan serta tidak sejalan dengan prinsip pengelolaan SDI secara terencana.

 

Sesuai SK Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.13/MEN/2004 tentang Pedoman Pengendalian Nelayan Andon Dalam Rangka Pengelolaan Suberdaya Ikan, maka nelayan andon dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan diwilayah pengelolaan perikanan Indonesia wajib memiliki izin yakni izin usaha perikanan (IUP) dan surat penangkapan ikan (SPI). Disamping itu juga ada syarat bagi nelayan andon yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan kapal perikanan tidak bermotor, kapal perikanan bermotor luar atau kapal perikanan bermotor yang berukuran tidak lebih lima GT atau yang mesinnya berkekuatan tidak lebih dari 15 DK, maka setiap tahunnya wajib mendaftarkan kegiatannya pada Kepala Dinas Perikanan setempat.

 

Surat Keputusan (SK) Gubernur nomor 9 tahun 1983 tentang larangan nelayan andon yang menggunakan alat purse scine dilarang mencari ikan di Selat Bali dan batasan jumlah kapal nelayan yang ada sejumlah 283 kapal dengan rincian 190 untuk kapal nelayan Jatim dan sisanya untuk kapal nelayan Bali, sesungguhnya karena kondisi SDI di perairan selat Bali sudah berkurang bila dibandingkan dengan kemampuan tangkap nelayan yang sudah melampui over purse scine.

 

Bila perairan mencapai over purse scine maka pemerintah berhak untuk membatasi jumlah kapal nelayan. Pembatasan tersebut diatur oleh pemerintah pusat yang diwakili oleh Gubenur juga pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk membatasi.

 

Kasus yang terjadi pada nelayan andon dari Lamongan yang menangkap ikan di Kabupaten Banyuwanngi dibatasi sebanyak 190 kapal. Dengan bertambahnya jumlah kapal nelayan andon tersebut dan belum lagi ditambah dari daerah lain, hal ini dapat memicu terjadinya pertikain antar nelayan. Sebenarnya nelayan andon itu diperbolehkan menangkap ikan diselatan Selat Bali dengan syarat hasil tangkapan harus di jual ke Muncar. Oleh karena itu perlu dilakukan riset mengenai apakah jumlah kapal nelayansebanyak 283 itu sesuai dengan kondisi perikanan yang semakin menurun sedangkan peralatan yang dipakai para nelayan semakin canggih.

 

Di negara maju perairan yang penghasilannya turun bisa ditutup sementara atau close station selama 6 bulan untuk memberi kesempatan ikan berkembang biak lagi. Namun para nelayan harus diberi pekerjaan lain. Tampaknya hal ini sulit dilakukan di Jatim karena jumlah nelayan terlalu banyak sekali dan rata-rata nelayan kecil. Terlebih lagi masalahnya bahwa para nelayan saat telah menggunakan alat tangkap purse scine melebihi ketentuan yang ada yakni ketentuannya panjang maksimal 300 meter dan lebar 60 meter. Fakta di lapangan panjangnya mancapai 600 meter lebar 60 meter. Hal ini yang membuat kerusakan hayati perkembangan ikan di selat Bali bila tidak ditangani dengan serius.

 

Sumber Konflik

 

Ketika nelayan dengan alat tangkap yang sangat terbatas dan menghasilkan tangkapan ikan yang secara minimal, maka dorongan untuk melakukan praktik penangkapan secara destruktif menjadi besar. Akibatnya konflik orientasi pun sering terjadi. Tentu aspek ekonomi ini juga mesti diiringi dengan aspek sosial budaya yaitu dengan melakukan pengkayaan pengetahuan dan pola sikap para nelayan terhadap sumberdaya laut yang di beberapa tempat sudah mulai bergeser.

 

Perebutan sumberdaya ikan yang semakin langka menjadi salah satu akar konflik perikanan saat ini. Tampaknya berdasarkan beberapa kasus bentrok nelayan antar daerah di atas, di hampir semua wilayah perairan pantai yang telah mencapai ambang batas padat tangkap ikan (over fishing) sangat berpotensi terjadi konflik (pantura Jawa, Selat Malaka dan Riau). Adapun pemicunya adalah berupa pelanggaran wilayah tangkap berdasarkan pemahaman atas Undang-Undang Otonomi Daerah dan pelanggaran penggunaan teknologi penangkapan yang telah disepakati bersama.

 

DKP telah melakukan identifikasi terhadap beberapa konflik antar nelayan daerah tersebut di atas, diantara penyebab timbulnya konflik antara lain: Kesenjangan teknologi penangkapan ikan dan kecemburuan sosial; Pelanggaran aturan mengenai jalur penangkapan ikan dan perebutan daerah penangkapan ikan (fishing ground); Menurunnya harga jual ikan di pasar lokal karena masuknya kapal-kapal penangkap ikan pendatang; danKeberadaaan alat bantu penangkapan ikan berupa lampu pada kapal Purse Seine yang dianggap berlebihan.

 

Arif Satria dalam bukunya “Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir”, mengidentifiksikan konflik nelayan menjadi empat macam. Pertama, konflik kelas, yaitu antarkelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan, seperti konflik nelayan skala besar di sekitar perairan pesisir yang sebenarnya diperuntukan bagi nelayan tradisional.

 

Kedua, konflik orientasi yang terjadi antarnelayan yang memiliki perbedaan orientasi (jangka pendek dan panjang) dalam pemanfaatan sumber daya, seperti konflik horizontal antara nelayan yang menggunakan bom dengan nelayan lain yang alat tangkapnya ramah lingkungan.

 

Ketiga, konflik agraria akibat perebutan fishing ground. Konflik ini dapat terjadi pada nelayan antarkelas maupun nelayan dalam kelas sosial yang sama. Bahkan dapat juga terjadi antara nelayan dengan pihak bukan nelayan, seperti konflik dengan para penambang pasir dan industri pariwisata.

 

Keempat, konflik primordial, yang menyudutkan sistem pemerintahan otonomi dan desentralisasi kelautan. Konflik identitas tersebut tidak bersifat murni, melainkan tercampur dengan konflik kelas maupun konflik orientasi yang sebenarnya kerap terjadi sebelum diterapkannya otonomi daerah.

 

Undang-Udang No. 31/ 2004 tentang Perikanan dibuat untuk melindungi nelayan dan sekaligus menciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan usaha dan investasi di bidang kelautan dan perikanan.  Kebijakan pemerintah mengenai sektor perikanan harus tetap mengacu pada upaya menjaga kelangsungan dan pelestarian sumber daya ikan serta menghilangkan segala bentuk illegal fishing, berpihak pada kepentingan nelayan kecil untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan mereka bersama keluarganya. Tetapi terdapat  beberapa pasal tidak jelas sehingga daerah dan masyarakatnya bisa memberikan keragaman tafsir, di antaranya: Pasal 1. mengenai nelayan kecil; Pasal 61. mengenai kebebasan nelayan kecil untuk melakukan penangkapan ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Republik Indonesia tetapi terdapat hak ulayat yang masih diakui dalam Pasal 6 ayat (2) UU No 31/2004; dan Pasal 73. dimasukkannya perwira TNI AL dalam penyidikan, karena selama ini nelayan memahami bahwa di wilayah kedaulatan Indonesia sejauh 12 mil (laut teritorial) hanya Polri dan PPNS tertentu yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan sebagaimana yang tertuang dalam UU No 8/1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan ketentuan hukum pidana lainnya.
Sedangkan, TNI-AL berhak dalam melakukan penyidikan di Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sesuai dengan Pasal 14 UU No 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).


Penutup


Tampaknya hampir semua wilayah perairan pantai yang telah mencapai ambang batas padat tangkap ikan (over fishing) berpotensi konflik. Konflik nelayan antar daerah masih berpotensi untuk terus terjadi karena masing-masing pihak bersikap sektoral dan tidak mengacu pada undang-undang perikanan sehingga merugikan mereka sendiri. Konflik nelayan antar-daerah itu menimbulkan kerugian besar bagi nelayan itu sendiri karena situasi usaha menjadi tidak kondusif.

 

Konflik itu seharusnya tidak terjadi jika kesepakatan yang dibuat benar-benar dilakukan dengan musyawarah antar nelayan bersama pemerintah daerah, oleh karena itu forum komunikasi antar pemerintah daerah perlu diaktifkan dan diefektifkan untuk menyadarkan nelayan akan makna UU otonomi daerah.

 

Sosialisasi UU No 31/2004 perlu dilakukan hingga ke daerah, khusus kepada nelayan, terutama pengaturan daerah dan jalur penangkapan ikan, karena hal ini kerap menimbulkan konflik. Selain itu  juga mengenai UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berkaitan dengan batas wilayah, karena disebutkan kabupaten/kota mempunyai wewenang hingga 4 mil ke arah laut dan propinsi 12 mil.


Konflik sebenarnya tidak perlu terjadi jika setiap nelayan menyadari bahwa wilayah penangkapan ikan tidak dapat dipeta-petakan karena ikan yang menjadi target penangkapan nelayan berkapal purse seine adalah ikan pelagis yang berpindah tempat. Tetapi undang-undang otonomi daerah memunculkan persepsi bahwa wilayah laut adalah menjadi milik daerah sehingga menimbulkan egosektoral dan egoperorangan bagi stakeholder yang merasa daerahnya kaya ikan sampai pada taraf tertentu menimbulkan friksi.

Pembuatan perangkat hukum harusnya disertai dengan penegakan hukum.  Pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota hendaknya menyusun kebijakan yang mengatur sektor kelautan dan perikanan dengan mempertimbangkan kesepakatan para nelayan. Berbagai penguatan di tingkat komunitas mesti diikuti dengan kuatnya kerjasama pemerintah lintas daerah, khususnya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan baik dalam perencanaan, implementasi maupun pengawasan. Kerjasama lintas daerah semakin mendesak di era otonomi daerah ini untuk mengantisipasi terjadinya konflik baik pada tingkat masyarakat maupun pemerintah.


Dalam jangka panjang pemberdayaan nelayan sangat penting dalam mengantisipasi konflik. Terutama diarahkan pada peningkatan ketahanan ekonomi rumah tangga nelayan karena berbagai bentuk praktek penangkapan ikan secara destruktif ternyata tidak bisa lepas dari perspektif ekonomi. Seiring dengan semakin langkanya sumberdaya ikan, insentif untuk konservasi sudah saatnya diintroduksi.


(suharto.,SE.,Msi)

Sumber Bacaan:

1.  Arif  Satria, Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir, PT Pustaka Cidesindo, Jakarta 2002.

2. Institut Titian Perdamaian dan TIFA, Mari Mencegah Konflik: Memahami Sistem Peringatan Dini Bebasis jaringan Komunitas, Jakarta, Desember 2005.

3.   Ichsan Malik, dkk., Konflik, Bahaya atau Peluang ?: Panduan Latihan Menghadapi Konflik Sumber Daya Alam, BSP Kemala, Cetakan Pertama, April 2001

4.      Bisnis Indonesia, Kamis, 30 Juni 2005

5.      Kompas, Kamis, 30 Juni 2005

6.      Kompas, Jumat, 16 Januari 2004

7.      Riau post, Sabtu, 08 Juli 2006

8.      Suara Karya,  Jumat, 16 Juni 2006

9.      Sinar Harapan, 20 September 2005

10.  El Fatih A. Abdel Salam, Kerangka Teoritis Penyelesaian Konflik

POSISI LEMBAGA USAHA KOPERASI (tinjauan teoritis terhadap UU No. 1 tahun 198)

Pendahuluan

Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat  (DPR) telah memutuskan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang  Kamar Dagang dan Industri  (Kadin) sebagai  wadah satu-satunya  bagi pengusaha Indonesia. Dengan demikian koperasi sebagai salah  satu bentuk usaha  memiliki posisi yang sama  dengan  pelaku  ekonomi lainnya, yaitu usaha negara dan usaha swasta.

Koperasi  yang merupakan bagian integral  dari  perekonomian nasional, baik sebagai badan usaha maupun sebagai gerakan ekonomi rakyat, pembangunannya  diarahkan untuk mengembangkan koperasi menjadi  makin maju,  makin mandiri,  dan  makin  berakar dalam masyarakat  serta  menjadi badan usaha  yang  sehat  dan  mampu berperan di semua bidang usaha, terutama dalam kehidupan  ekonomi rakyat, dan dalam upaya mewujudkan demokrasi ekonomi  berdasarkan Pancasila  dan  UUD  45. Pembangunan koperasi  diselenggarakan melalui peningkatan kemampuan organisasi, manajemen, kewiraswastaan, dan permodalan dengan didukung oleh peningkatan jiwa dan semangat berkoperasi menuju pemantapan perannya sebagai sokoguru perekonomian nasional.

Sehingga   dengan  demikian  posisi  koperasi   tidak   lagi ditafsirkan sebagai pemikiran yang disandarkan pada pangkal tolak yang  dikotomis  terhadap BUMN dan  swasta,  melainkan sama-sama ditempatkan  sebagai bagian dari suatu sistim ekonomi  yang  satu yakni  sistem ekonomi Indonesia. Implikasi dari pengertian  ini, koperasi  harus dilihat sebagai suatu usaha ekonomi  yang pokok-pokok prilakunya sama dengan usaha-usaha ekonomi lainnya; terikat oleh pola dan dalil ekonomi umum, meskipun  terdapat  perbedaan-perbedaan sendiri.

Implikasi  lebih  jauh  adalah  bahwa  bantuan  dan  peranan pemerintah bukanlah hal yang utama dan porsi terbesar,  melainkan sebagai  pembantu. Pertumbuhan koperasi tidak dipaksakan  sekadar memenuhi  target tetapi dibiarkan tumbuh dengan cara  yang  wajar meskipun  disertai dengan pembinaan khusus. Sebaliknya  penilaian terhadap  tempat  dan peranan perusahaan swasta  bukan merupakan manifestasi  ekonomi yang bersifat kapitalistik, melainkan  suatu bentuk  yang  lebih sanggup menampung swadaya dan kreativitas masyarakat.  Dengan demikian usaha swasta yang semakin  luas dan berkembang perlu semakin mengikatkan diri pada visi dan  komitmen pada sumbangan untuk kemajuan ekonomi negara dan bangsa.

UU No. 1/1987  Sebagai Barang Publik

Ditetapkannya  UU  No.1/1987 tentang Kadin  merupakan  upaya mereduksi ketidakpastian posisi koperasi  sebagai  salah  satu pelaku  ekonomi. Perkembangan koperasi selain dipengaruhi  oleh tantangan  lingkungan  usaha, juga  tergantung  pada  tersedianya arrangements atau rule  yang disediakan pemerintah.  Oleh  sebab itu perkembangan koperasi sangat tergantug pada usaha pemerintah sebagai  satu-satunya pihak yang dapat dan berwenang menyediakan rule sebagai barang publik yang diperlukan.

Sebagaimana  dalam perspektif public choice, suatu  UU  bisa dipandang sebagai komoditi publik  bagi  yang   mendapatkan manfaatnya.  Atau dalam pengertian yang lebih luas UU No.  1/1987 dapat ditujukan  untuk melihat manfaat dan kerugian  salah  satu atau  pelaku ekonomi terhadap pelaku ekonomi lainnya. Apakah  UU tersebut mencapai optimal pareto, dimana adanya sumbangan ekonomi yang  lebih  besar  yang ditunjukkan  melalui  perolehan manfaat ekonomi  dari  para  pelaku ekonomi di  dalam  masyarakat  karena proses alokasi  sumber-sumber  ekonomi   tidak   mengakibatkan berkurangnya sumbangan ekonomi yang ditunjukkan melalui perolehan manfaat  ekonomi yang mengecil (kerugian) pada pihak para  pelaku ekonomi lainnya.

Di dunia akademis dikenal ada dua alternatif pandangan  yang dikemukanan oleh Stigler, yaitu:  Pertama,  UU   dilembagakan terutama untuk memberikan proteksi dan kemanfaatan tertentu untuk publik  atau  sebagian  sub-publik  dari publik  tersebut.   Dan sebaliknya, adanya UU tersebut berarti menanggung biaya  sosial yang  harus dipikul oleh sebagian masyarkat. Kedua, adalah suatu tipe analisis  dimana proses politik  dianggap  merupakan suatu penjelasan yang rasional.

Bagi  Breyer dan Mac Avoy (1990) yang melihat dalam  konteks masyarakat Amerika memberikan pengertian rule (regulasi)  adalah tindakan   pemerintah untuk  mengontrol harga,  penjualan   dan keputusan produksi perusahaan yang dinyatakan sebagai usaha untuk mencegah pengambilan keputusan swasta yang akan  memperhatikan 'kepentingan  publik' secara tidak memadai. Sedangkan Hasibuan (1993)  memberikan pengertian  berkaitan  dengan intervensi pemerintah  di  bidang ekonomi dalam  usaha  untuk meningkatkan kinerja ekonomi akibat dari terjadinya kelemahan-kelemahan atau kegagalan pasar.

Perkembangan Koperasi

Berdasarkan data yang ditampilkan oleh Danardono Widyopranoto dalam artikelnya yang berjudul UU Koperasi Nomor 12 Tahun 1967 Perlu Diganti di harian Merdeka tanggal 11 Maret 1992 mengungkapkan mengenai perkembangan koperasi sejak tahun 1986 sampai dengan 1990 menunjukkan keadaan yang cukup menggembirakan. Hal ini dapat dilihat melalui jumlah koperasi sampai dengan tahun 1990 (angka  sementara) berjumlah 36.502, dari jumlah  tersebut jumlah  KUD mandiri sebanyak 7.449 dan jumlah anggota koperasi sebanyak 29.914.000 orang. Tetapi apabila volume usaha koperasi dibandingkan  dengan perkembangan  Produk Domestik Bruto (PDB), maka perkembangan koperasi yang ada cukup memprihatinkan dimana dari tahun ke tahun menunjukkan perkembangan yang turun-naik. Dari tahun 1985 sampai dengan tahun 1986 persentasinya menunjukkan angka penurunan yaitu dari 2,28% menurun menjadi 1,42 %. Sedangkan dari  tahun 1985 sampai dengan tahun 1990 persentasinya menunjukkan tidak  pernah mencapai 2 %, dan bahkan di tahun 1990 tidak sampai mencapai 1 %, yaitu  hanya  sebesar 0,87 % dari PDB. Hal  ini dapat diartikan  bahwa peranan koperasi dalam kegiatan ekonomi makin menurun.

Hal   lain  yang  dapat  dipakai  untuk  menunjukkan   bahwa perekembangan usaha  koperasi  masih  sangat   labil   adalah perkembangan kredit yang dikeluarkan oleh perbankan. Perkembangan kegiatan  ekonomi   koperasi  ialah yang  paling   lemah   bila dibandingkan dengan kegiatan swasta golongan menengah ke atas dan swasta golongan ekonomi lemah.

Dengan  kondisi demikian maka sampai dengan akhir  pelita  V yang lalu sumbangan koperasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dapat diperkirakan masih di bawah 5 %. Hal ini sangat  mencolok apabila dibandingkan dengan 2 pelaku ekonomi yang lain.  Padahal jika  benar koperasi mau diangkat menjadi  tulang   punggung perekonomian nasional, menurut Thoby Mutis kontribusinya terhadap PDB  minimal  harus lebih dari 40 %. Hal ini sadar atau tidak sadar  peran koperasi telah dikurangi fungsinya, sebagi bukti, sekarang masih banyak peraturan pemerintah di tingkat  pusat maupun daerah yang tidak memberi  kesempatan kepada  koperasi untuk   memasuki dan  bergiat dalam segmen  bisnis tertentu, misalnya, di bidang ekspor-impor, hak pengusahaan hutan (HPH), penyaluran sembilan bahan pokok dan lain sebagainya.

Padahal  jika  koperasi  diberi hak  yang  sama  sebagaimana tertuang  dalam UU No. 1 tahun 1987 dimana  koperasi  merupakan salah  satu pelaku ekonomi nasional, pejabat bersangkutan  dapat saja merekayasa untuk mengembangkan koperasi,  misalnya  sebagai pemasok  alat  tulis  menulis untuk instansi yang dipimpinnya, angkutan  pegawai, pengadaan pakain dinas, bahkan Kabulog bisa mengeluarkan  kebijaksanaan  khusus  untuk menyalurkan  sembilan bahan pokok.

Hambatan dan Permasalahan

Harus diakui bahwa lembaga usaha koperasi ketinggalan dengan lembaga usaha swasta dan BUMN. Untuk itu usaha  koperasi  perlu dipandang  sebagai bangun usaha yang juga berhak menjadi  wadah berusaha  mulai  dari usaha kecil, menengah  sampai  yang  besar. Masalah pembangunan dan pengembangan koperasi  mencakup  masalah kebijaksanaan  dan  sisitim ekonomi,  dalam aspek kebijaksanaan terkait erat dengan peranan ekonomi pasar dan peranan pemerintah.

Selain  itu koperasi tidak mampu mengimbangi  kekuatan  BUMN dan konglomerat  karena pembinaanya selama ini  masih  dilakukan dengan   gaya kepemerintahan.  Koperasi  tidak memiliki  akses terhadap sistim perbankan dan lembaga keuangan nasional. Di pihak lain, pendirian koperasi tidak dilandasi prinsip yang jelas serta harus  mendapatkan ijin dari Departemen Koperasi sehingga muncul kebimbangan,   apakah   pendirian  koperasi  bertujuan memupuk keuntungan atau tidak.

Sebenarnya  permasalahan yang dihadapi koperasi tidak  hanya menyangkut permsalahan eksternal tetapi   juga   permasalahan internal.  Permasalahan eksternal yaitu  menyangkut aksesbilitas terhadap sumber-sumber pendanaan nasional. Sedangkan permasalahan internal menyangkut kepada kemampuan daya serap koperasi terhadap pendanaan  nasional, seperti: rendahnya menyerap alokasi  kredit peruntukan  golongan  ekonomi  lemah dan  usaha kecil, termasuk kredit  yang  dialokasikan sebesar 20 % dari  total  kredit  yang disalurkan oleh bank-bank pemerintah.

Permasalahan eksternal lain adalah adanya pilih kasih selama satu   generai pembangunan telah  terlalu  berkiblat   kepada indiviualisme konglomerat. Sementara itu koperasi diremehkan  dan digenaralisir sebagai yang lemah. Ketika peranan pemerintah  dan BUMN terlampau  dominan  dalam menggerakan roda   perekonomian nasional  di  awal dekade 1980 an, pihak BUMN  sendiri  mendapat untung yang berlimpah karena menjadi 'anak emas' pemerintah  yang memiliki   puluhan   keistimewaan  yang  diatur   lewat pelbagi peraturan, baik  di  bidang  ekuin  maupun  perdagangn.   Dengan peraturan-peraturan   tadi,  BUMN mendapakan  hak-hak   monopoli misalnya  monopoli mengimpor baja, plastik dan sebagainya.  

Praktek  penguasaan jaringan usaha mulai dari  sektor  usaha feri-feri  sampai dengan produksi tidak akan  dapat  menumbuhkan kemitraan yang mandiri, sebab praktek kemitraan antara  pengusaha besar, menengah dan kecil serta koperasi selalu mendapat  ancaman dan  saingan  yang  kurang  berimbang. Setelah   dikumandangkan kebijakan deregulasi mulai 1 Juni 1983 sampai kini  tidak satupun yang  menyentuh  dan  memberikan  akses  terhadap perkembangan koperasi.  Contohnya,  pendirian pabrik terigu  Bogasari  dimana pemiliknya juga  boleh mendirikan pabrik mie atau  roti,  karena bahan baku dikuasainya. Keadaan ini tentu akan melumpuhkan  usaha menengah  dan  kecil (koperasi),  karena pasok  bahan  bakunya tergantung pada produsen terigu yang nota bene dikuasai pengusaha besar yang itu-itu saja.

Tata   ekonomi  masyarakt  Indonesia  sekarang   ini   masih mengalami distorsi, yang berakibat  adanya ketimpangan   dan keganjilan  dalam  perimbangan kekuatan di  antara ketiga  unsur pelaku  ekonomi. Walaupun  belakangan konglomersi  ini   banyak dikecam pelbagai  kalangan karena dikhawatirkan akan  menguasai pasar  yang pada akhirnya merugikan masyarakat luas (kecaman  ini mirip  dengan kritik terhadap multinasional  beberapa tahun  yang lalu).  Dari  sisi deregualsi menghasilkan sesuatu yang  ganjil, yaitu hanya membesarkan konglomerasi yang sudah besar. Sebaliknya para  pengusaha kecil dan koperasi  yang  diharapkan   menjadi sokoguru perekonomian kurang mendapat manfaat dari deregulasi.

Artinya   deregulasi  dan  debirokratisasi  yang   dilakukan pemerintah  selama ini masih  memberi angin segar  kepada  dunia bisnis  yang  lebih menguntungkan swasta dan  BUMN. Namun  iklim segar yang  membuka peluang persaingan sehat bagi  dunia  bisnis besar, justru berpengaruh buruk pada koperasi primer yang  sudah berada  dalam suasana  persaingan ekonomi dan bisnis yang  ketat. Dengan demikian  maka prioritas koperasi  yang digariskan  GBHN sebenarnya tidak didukung oleh kebijakan deregulasi, padahal GBHN menekankan pada pembinaan koperasi. Dengan demikian maka UU No. 1 tahun  1987 belum cukup efektip memberikan peluang pada  koperasi untuk sejajar pada posisi yang sama dengan lembaga usaha  lainnya dalam memberikan kontribusi perekonomian nasional.

Selain  itu adanya pandangan bahwa koperasi merupakan  badan sosial. Padahal sejak awalnya koperasi merupakan alat  perjuangan ekonomi  yang memiliki sasaran kesejahteraan. Kekaburan  peranan inilah yang menyebabkan koperasi lemah dalam menjalankan  usaha. Diperparah  lagi  dengan masih adanya persoalan  psikologis  yang melanda   masyarakat dimana  bentuk  usaha  PT lebih   menjamin bonafiditas  (kepercayaan) dibandingkan koperasi. Hal mana dapat dilihat pada kecenderungan  Induk Koperasi Pegawai Negri Republik Indonesia (IKPN-RI) yang membentuk usaha Bank Kesejahteraan dalam bentuk PT dan yang masih lekat dalam ingatan  adalah  berubahnya status  Badan Hukum Bukopin dari koperasi  menjadi  PT.  Apakah dengan  itu  berarti  seperti yang  dikemukakan  oleh  Soemitro Djojohadikusumo  bahwa untuk memajukan kopersi memang  diperlukan waktu sampai dengan dua generasi atau 50 tahun sehingga  masih diperlukan dua pelita lagi ?

Peran Pemerintah 

Dalam Kegagalan Pasar Pemerintah yang terlibat secara langsung di dalam penyediaan komoditi publik murni memang berperan sebagai pelengkap di dalam sistem  ekonomi  yang berlangsung di  suatu masyarakat  (pasar). Koperasi sebagai suatu badan usaha memang perlu dilindungi  agar bisa bertahan hidup. Tetapi perlindungan itu tidak bisa diberikan terus-menerus. Dalam  batas  waktu yang  wajar koperasi  perlu menjadi  dewasa dan bisa hidup serta tumbuh atas dasar  vitalitas sendiri.

Setiap bentuk usaha dalam suatu sistim ekonomi akan  selalu dibebani tugas untuk mempertanggungjawabkan eksistensinya  secara ekonomis.  Rule of the game dalam sistim itu  adalah persaingan. Untuk    mempertahankan  hidupnya, koperasipun   harus    bisa berkompetisi dengan badan usaha lain. Kalau tidak bisa  bersaing, berarti  ia  selalu membutuhkan  perlindungan  berupa peraturan-peraturan  khusus yang secara efektif menghindari dari  keharusan bersaing untuk   hidup.  Keadaan seperti   ini   jelas   tidak menguntungkan dari segi kepentingan masyarakat dalam perekonomian berdasarkan  pasar. Koperasi pada dasarnya tidak  berbeda  dengan bentuk usaha lain, meskipun tidak berarti bahwa perlindungan atas fasilitas-fasulitas khusus tidak perlu diberikan kepada koperasi terutama pada tahap awal perkembanganannya.

Dengan  lain perkataan mempertimbangkan prilaku  pasar  atas norma  efisiensi juga harus mempertimbangkan beroperasinya  usaha koperasi, sebab kalau tidak menurut Hasibuan kegagalan pasar akan mengakibatkan  munculnya 'kerusakan-kerusakan'  dalam  bentuk  : hadirnya kekuatan ekonomi berskala besar (monopoli);  konsentrasi ekonomi  yang  tinggi; efisiensi  sumber-sumber yang bersifat langka;   sifat  barang-barang  yang  berfluktuasi;  konsekuensi kemajuan teknologi dan barang-barang kebutuhan pokok  masyarakat. Sehingga dalam   batas-batas  tertentu   pemerintah   mempunyai kewajiban  untuk mengatur  melalui perundang-undangan  terhadap praktek-praktek  bisnis yang merugikan masyarakat dan persaingan yang tidak wajar.

Alasan dan fakta lain yang cukup penting mengapa  pemerintah intervensi terhadap kegiatan ekonomi adalah kebutuhan  masyarakat yang  tidak bisa dinikmati secara ekslusif, kegagalan distribusi pendapatan dan ketimpangan kesejahteraan masyarakat serta koreksi terhadap faktor  resesi ekonomi dunia, seperti  jatuhnya  harga minyak dan gas bumi.

Barang Publik Kebijakan Sebagai Jalan Keluar

Kebijakan yang menyangkut koperasi harus pluralistik  karena badan  usaha koperasi didirikan mewakili  kegiatan  usaha  yang spektrumnya  cukup luas. Sehingga koperasi yang  memiliki ambisi usaha  harus  mendapatkan dukungan. Koperasi  kurang   berperan sebagaimana swasta dan BUMN, karenannya koperasi harus  memiliki hubungan yang longgar dengan birokrasi.

Keganjilan  dan ketimpangan harus segera ditanggulangi  jika hendak mengarahkan  tata susunan ekonomi  nasional  pada  tujuan masyarakat adil dan makmur sesuai UUD 45. Banyaknya perturan yang perlu dikaji ulang dan menganjurkan pemerintah segera membuat UU Anti  Trust  yang membatasi gerak para konglomerasi.  Yang  tentu harus  dijawab  adalah  apakah mereka berhak  atas  perlindungan terhadap kompetisi yang tidak sehat ?

Koperasi  diharapkan  bisa  maju  melalui  perlindungan  dan bantuan  yang diberikan, tetapi juga harus bisa  bekerja  lebih efisien serta tidak manja di dalam aturan main bisnis yang jelas agar pasar tidak dikuasai oleh para konglomerasi.

Kadin melalui UU No. 1 tahun 1987 sebenarnya dapat  berperan lebih banyak dalam mencegah terjadinya konglomerat yang  memakan pengusaha-pengusaha kecil  dan mengutamakan  tujuan pemerataan pertumbuhan  dengan jalan membina koperasi,  seperti pembentukan bapak  angkat  bagi perusahaan kecil dan  menengah  sebagai  satu jalan pemerataan.  Di antaranya melalui pemberian saham  kepada koperasi. Prioritas pemberian saham ditujukan bagi koperasi karyawan  suatu perusahaan, koperasi primer  di  sekitar lokasi perusahan, serta koperasi yang terkait dengan produksi.

Menyadari akan posisi koperasi di atas, maka UU No. 1  tahun 1987  perlu  lebih difungsikan melalui berbagai  kebijakan  yang dapat diupayakan untuk mengembangkan posisi koperasi, diantaranya melalui  :  Pertama, deregulasi dan debirokratisasi  peraturan-peraturan  yang menghambat pembentukn koperasi oleh  kelompok-kelompok  masyarakat yang mempunyai kepentingan bersama. Kedua, dukungan  pelatihan  bagi  para  manajer  dan  pegawai koperasi. Ketiga,  perkaitan  koperasi  dengan pengusaha  besar  memalalui pemilikan saham dan hubungan bapak angkat.  Keempat,  ketentuan penyisihan dana BUMN sebesar 1-5 % untuk  mengembangkan  usaha golongan ekonomi lemah dan koperasi.

Penutup

Sesungguhnya,   sistim  perekonomian  kita   telah   memberi perlindungan dan bantuan baik kepada industri kecil maupun kepada koperasi, bahkan seringkali berlebihan, sehingga eksesnya  adalah 'tidak mendidik'. Koperasi menjadi manja dan tak ada kiat  untuk bekerja lebih efisien.

Jiwa dan semangat gotong rotong yang dimodernisir, demokratis, mandiri  dan diberi hak hidup secara konsekwen  oleh  pemerintah dengan  fasilitas  yang sama merupakan salah  satu  jaminan  bagi suksesnya koperasi.

Membentuk  lembaga keuangan yang diharapkan  koperasi  dapat memperoleh akses terhadap sumber-sumber pendanaan nasional dengan cost  of  capital  yang  murah.  Dan  restrukturisasi  permodalan koperasi.  Kesemuanya  itu  agar koperasi  mampu   mengakomodasi instrumen finansial yang tersedia

Koperasi perlu dibina secara kewirakoperasian, yaitu  paduan dari jiwa bisnis perkoperasian dengan alam perekonomian Indonesia yang bertitik berat pada kegaiatan usaha-usaha koperasi.

Konsep  gerakan  nasional kemitraan  berusaha  antara  usaha besar  dengan usaha kecil dan  koperasi hendaknya  dilaksanakan dengan  rela  dan sungguh-sungguh. Dengan  demikian  gerakan  ini intinya tidak  sekedar  untuk  upacara, namum  dapat  dirasakan sebagai  satu  wujud nyata pemerataan berusaha. Sementara  itu, upaya   Kadin  dalam  menggalang  kemitraan   dilakukan melalui identifikasi usaha agar dapat melihat peluang bisnis  bagi  para pengusaha nasional, menggalang melalui assosiasi maupun  himpunan usaha yang ada.

(suharto.,SE.,Msi)

BAHAN-BAHAN BACAAN :
1.    Ketetapan  MPR RI Nomor : II/MPR/1993 tentang : GBHN  1993-1998.
2.    Undang-undang  Tentang  Perkoperasian (Undang-undang  No.  25 Tahun 1992).
3.    Undang-undang  Tentang  Kamar Dagang  dan  Industri  (Undang-undang Nomor 1 Tahun     1987)
4.    Sudarsono  Hardjosukarto,  DR., Teori,  Kebijakan  dan  Riset Perkoperasian di  Indonesia, Paper Seminar Sehari  di  CSIS, Jakarta 26 Mei 1994.
5.    Didik J. Rachbini, DR., Teori Regulasi Ekonomi, Bahan  Kuliah Program Pascasarjana  Ilmu     Sosial dan  Politik  UI,  Jakarta, 1994.
6.    Ian   Mc.  Lean,  Public  Choice,  An   Intriduction,   Basil Blackwell, New York 1987.
7.    Kumpulan Kliping Koran dari Perpustakaan CSIS, Jakarta.
8.   Bahan-bahan kuliah mengenai Ekonomi Politik.