Pengantar
Berkonflik
adalah suatu situasi yang terjadi apabila seseorang atau sekelompok orang
menunjukkan praktek-praktek untuk menghilangkan pengakuan (hak) orang atau
kelompok lainnya mengenai benda atau kedudukan yang diperebutkan. Sumber-sumber
konflik di Indonesia
pada umumnya berkaitan dengan konflik data, konflik nilai, konflik hubungan
sosial dan psikologi, dan konflik kepentingan. Yang terakhit tersebut berkenaan
dengan pemuasan kebutuhan dan cara untuk memenuhinya mengorbankan orang lain,
serta persaingan yang tidak sehat.
Wujud konflik dapat tertutup (latent), mencuat
(emerging), dan terbuka (manifest). Konflik tertutup dicirikan dengan adanya
tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dan belum
terangkat ke puncak konflik. Konflik mencuat adalah perselisihan di mana
pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi dan diakui ada perselisihan, permasalahan
secara umum sudah jelas walaupun proses negosiasi dan penyelesaian masalah
belum berkembang. Konflik terbuka ditandai oleh pihak-pihak yang berselisih sudah
terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai untuk
bernegosiasi atau mungkin juga mengalami jalan buntu.
Konflik atas sumber daya alam (hutan, laut, dan tambang)
tampaknya akan terus mencuat dan terbuka setelah lama tertutup di masa
pemerintahan orde baru. Di beberapa kawasan tertentu, konflik atas sumber daya
alam yang mencuat bergeser menjadi tuntutan politik yang lebih geras terhadap
pemerintah, atau sebagai medan perang antar kelompok etnis dan agama. Komponen spesifik konflik sumber daya
alam mencakup hubungan antara
kelompok-kelompok yang mengakses sumber daya alam, perbedaan teknologi
masing-masing kelompok, dan tingkat keberagaman hot-spot dalam sumber
daya alam. Ketiga komopenen spesifik tersebut dapat dilihat secara nyata
terjadi dalam konflik nelayan antar daerah yang belakangan marak di berbagai
belahan tanah air.
El Fatih A. Abdel Salam dalam artikel yang berjudul ‘Kerangka Teoritis Penyelesaian
Konflik’ menyebutkan bahwa terdapat dua pendekatan yang berlawanan mengenai
teori konflik, yaitu: pendekatan klasik dan pendekatan behavioris. Pendekatan klasik memusatkan
diri pada analisis tataran makro. Perhatiannya tertumpu pada analisa interaksi
antar kelompok. Kelompok-kelompok ini dapat dibagi ke dalam berbagai sempalan
berdasar, antara lain: nasional, institusional, etnis, kelas, dan ideologis.
Ahli teori klasik menaruh perhatian pada interaksi antar kelompok pada tataran
sadar (conscious level). Sedangkan kaum behavioris memusatkan diri pada tataran
mikro, dengan individu, bukan kelompok, sebagai unit kajiannya. Kaum
behavioris mengkaji faktor ketidaksadaran (the unconscious) untuk memahami
faktor-faktor motif yang tak terungkapkan.
Asumsi umum teori klasik adalah bahwa akar konflik
berasal dari persaingan kelompok dan pengejaran kekuasaan dan sumber-sumber.
Asumsi-asumsi ini beroperasi pada factor-faktor motivasi sadar dalam lingkungan
yang berorientasi material. Teori klasik menggunakan pengamatan-pengamatan
fenomena kelompok pada suatu peristiwa untuk mempelajari masalahnya secara
mendalam, dan menentukan pentingnya dan hubungan-hubungan banyak variabel
ketimbang hanya menggunakan segelintir variabel untuk banyak kasus.
Perairan Kabupaten Bengkalis
(Riau)
Pada tanggal 15 Juni 2006 terjadi bentrokan fisik
antara nelayan tradisional rawai (pancing) dengan kapal jaring kurau (jaring
batu) di Kabupaten Bengkalis, Riau. Korban satu orang tewas dan puluhan orang
luka-luka. Konflik di perairan yang dipersengketakan itu merupakan
kelanjutan dari kasus pembakaran 10 kapal yang dilakukan nelayan jaring
Rawai pada Agustus tahun 2005.
Bentrokan tersebut merupakan pertikaian lama antara nelayan jaring rawai
(tradisional) dengan kelompok nelayan jaring batu (kapal ukuran besar). Pertikaian
ini terjadi di tengah laut Bengkalis atau di wilayah Selat Malaka yang
melibatkan kelompok jaring rawai dari Desa Pambang, Kecamatan Bantan dengan
nelayan kelompok jaring batu dari Desa Kedabu, Kecamatan Rangsang di Bengkalis.
Peristiwa ini terjadi tengah malam ketika nelayan jaring rawai melihat dua
kapal dari kelompok jaring batu memasuki wilayah laut untuk mencari tangkapan
ikan. Dari sana, nelayan rawai mencoba untuk membuntuti dengan delapan kapal
hingga ke tengah laut tepatnya di perairan Muntai, Kecamatan Bantan. Perairan
yang memang merupakan wilayah jelajah nelayan rawai. Mereka langsung mengepung
dua kapal jaring batu, yakni KM Nelayan Jaya dan KM Usaha Baru sehingga kedua
kapal jaring batu tersebut tidak dapat bergerak. Kapal-kapal jaring rawai
merapat ke kapal milik jaring batu yang kemudian membakar kapal KM Nelayan
Jaya, sedangkan KM Usaha Baru berhasil diselamatkan Polisi Air Bengkalis.
Bentrok semacam ini bukan pertama atau kedua kali terjadi, tetapi dua tahun
terakhir konflik ini terus meruncing. Pertikaian biasanya berbuntut pada
pembakaran kapal dan pemukulan. Namun bentrok yang terakhir ini sampai menelan
korban jiwa. Sengketa lahan pencarian ikan ini sudah berlangsung sejak 20 tahun
silam. Ini bermula
dari kelompok jaring rawai yang merasa keberatan dengan kelompok jaring batu.
Nelayan jaring batu dituding menghancurkan habitat laut karena jaring mereka
panjangnya bisa lebih dari 1,8 km.
Konflik ini sudah
pernah ditangani pemerintah setempat. Namun Pemerintah Kabupaten Bengkalis
tidak bisa mencari solusi terbaik dalam mengatasi konflik sesama nelayan ini. Walhi
Riau menduga sulitnya Pemkab Bengkalis melarang jaring batu beroperasi karena sebagian
dari kapal-kapal jaring batu itu milik para pejabat. Selain itu, toke jaring
batu juga memberi upeti kepada aparat.
Di lapangan WALHI Riau menemukan masih banyak jaring kurau yang
beroperasi di perairan yang dipersengketakan dan tidak ada proses penegakan
hukum yang dijalankan. M. Teguh Surya, koordinator
tim advokasi penyelesaian konflik nelayan rawai menyebutkan ada beberapa
penyebab mengapa konflik ini tak terselesaikan dan telah berumur 23 tahun. Pertama, indikasi keterlibatan
pejabat dan aparat keamanan jelas; Kedua,
sistem pemerintahan di Kabupaten Bengkalis; dan Ketiga, Pemkab. Bengkalis dan Pemprov Riau menganggap ini
persoalan biasa dibandingkan dengan persoalan investasi dan tidak menjadi
prioritas untuk dituntaskan.
Hasil penelitian WALHI mengungkapkan bahwa nelayan
tradisional Bengkalis Riau telah dirugikan setidaknya Rp12,000,000,000 (dua
belas milyar rupiah) per bulan akibat beroperasinya kapal-kapal jaring batu di
perairan tradisional. Spesies ikan Kurau yang menjadi incaran para pengusaha
perikanan sudah semakin langka keberadaannya. Kapal-kapal jaring batu terbukti
tidak memiliki ijin penangkapan, baik dari pemerintah kabupaten, propinsi
maupun pemerintah pusat. Ini jelas terkait dengan pelanggaran perikanan atau
lebih dikenal dengan IUU (illegal, unreported, unregulated) yang cukup rapi,
karena hingga hari ini ikan Kurau masih marak diperdagangkan oleh para
pengusaha ke Singapura dan Malaysia dengan harga berkisar Rp300,000- (tiga
ratus ribu rupiah) dan tanpa/tidak pernah ada kontribusi apa-apa kepada
pemerintah daerah maupun nasional.
Bentrokan di perairan Bantan itu berimbas pada seluruh nelayan di
Bengkalis. Mereka khawatir bakal ada serangan balik dari kelompok jaring batu.
Hal serupa juga terjadi pada kelompok nelayan jaring batu. Mereka juga enggan
melaut karena takut ada serangan kembali dari nelayan tradisional. Apalagi
ketika terjadi bentrok, kelompok jaring batu merupakan sasaran amuk masa
nelayan jaring Rawai yang jumlahnya jauh lebih banyak.
Pemda Bengkalis dan Pemprov Riau telah membuat Surat Keputusan (SK) yang
melarang jaring batu beroperasi di wilayah Bengkalis. Kalau pun tetap
beroperasi, pihak pemda telah menetapkan batasan jaring batu harus menangkap
ikan di atas 4 mil dari pantai. Tetapi kelompok nelayan jaring batu menggunakan
izin penangkapan ikan dari Pemda Kabupaten Karimun, Provinsi Kepri. Semestinya nelayan
jaring batu tidak boleh beroperasi di Riau, tetapi kenyataannya yang terjadi
mendapat izin dari Kepri dan mencari ikan di perairan Bengkalis, Riau.
Sebenarnya pihak aparat dapat menertipkan izin penangkapan ikan yang tidak
sesuai dengan areal tangkapan dan menyatakan bahwa jaring
kurau tersebut ilegal dan dilarang beroperasi di perairan yang
dipersengketakan, serta melakukan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Konflik
sesama nelayan yang menelan korban jiwa harus diselesaikan lewat jalur hukum
bila tidak ingin bentrok susulan terjadi kembali.
Perairan
Kalimantan Timur
Pertikaian antar nelayan di Perairan Kalimantan Timur terjadi kembali
pada pertengahan bulan Mei 2005 dan tidak terdapat korban jiwa. Menurut laporan Dinas Perikanan dan Kelautan
(Diskanlut) Jateng kepada Direktur Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan
Perikanan (Dirjen PSDKP), pertikaian terjadi di Perairan Kaltim pada 1160
38' Bujur Timur dan 040 00' Lintang Selatan. Posisi geografis ini
berada pada jarak 20-30 mil dari garis pantai terdekat. Karena berjarak lebih
dari 12 mil dari garis pantai ke arah laut lepas, daerah ini bebas dimanfaatkan
oleh nelayan manapun dengan tetap memerhatikan peraturan tangkap.
Kapal porssein miliki nelayan Jawa Tengah yang dibakar
sebenarnya sudah memiliki izin dari pemerintah Pusat sehingga dapat beroperasi
di atas 12 mil. Tetapi nelayan Balikpapan protes karena mereka menggunakan
sinar lampu penangkap ikan yang hingga kini belum diatur batasannya. Kapal
nelayan Jawa Tengah juga sempat bersandar di Balikpapan dengan alasan karena
kehabisan bahan bakar minyak (BBM).
Menurut Bambang Wicaksana, Sekretaris Asosiasi
Perikanan Indonesia (Aperin), mayoritas Nelayan
Jawa Tengah berasal dari Kabupaten/Kota Pekalongan dan Pati telah memiliki
surat izin usaha perikanan (SIUP) dan surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan
atau surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI). Selain itu, sudah ada
kesepakatan bersama antara Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jateng, Jawa
Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan
Tengah, dan Kalimantan Barat. Tujuan kesepakatan adalah untuk penataan,
pengendalian, dan pengawasan, serta pembinaan terhadap pemanfaatan sumber daya
ikan, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri.
Munculnya konflik itu membuktikan bahwa implementasi forum amat rapuh
meskipun masing-masing provinsi telah menyosialisasikan kesepakatan itu, karena
bagi nelayan butuh waktu untuk mengerti sehingga bisa menerapkannya. Konflik antara nelayan Balikpapan dengan nelayan asal Juana,
Pati, Jawa Tengah mestinya tak terjadi. Apalagi sampai melakukan pembakaran
kapal milik nelayan pendatang tersebut. Konflik semacam tak akan terjadi jika
antar nelayan saling menghormati dan menggunakan kapal tangkapannya sesuai izin
jalur yang diberikan pemerintah. Selain itu, nelayan juga jangan sampai
menggunakan alat tangkap yang dilarang, seperti: menggunakan trawl (Pukat
harimau), bom, listrik, atau racun.
Pemerintah sesungguhnya sudah mengatur batasan kewenangan
dalam pengelolaan laut. Meski demikian, perlu diingat bahwa laut merupakan
kawasan open akses. Semua kawasan itu bisa dilalui asalkan menaati jalur dan
izin sesuai kewenangan daerah setempat. Batasan kewenangan kawasan laut dibagi
atas pemerintah kabupaten dan kota, provinsi dan pemerintah Pusat. Pemerintah
kabupaten dan kota memiliki kewenangan di bawah batasan 4 mil dari garis pantai
dengan kapasitas kapal tangkapan di bawah 10 GT (gross ton). Pemerintah Provinsi
dari 4 sampai 12 mil dengan kapasitas kapal 10 sampai 30 GT. Sedangkan
pemerintah Pusat berwenang di atas 12 mil hingga batasan zona ekonomi eksklusif
(ZEE) atau 200 mil dari garis pantai. Kapal yang diberikan izin di kawasan ini
adalah kapal dengan kapasitas di atas 30 GT. Kapal pun sudah diatur
kapasitasnya. Sehingga ini dimaksudkan untuk memberikan batasan wilayah
tangkapan dan antarnelayan bisa saling mengerti dan menghormati.
Perairan
Selat Makassar
Nelayan dari Jawa Tengah terpaksa melaut semakin menjauhi
garis pantai Jateng karena hasil tangkapan ikan semakin berkurang, sehingga hal
ini menyebabkan sering terjadi bentrokan antar nelayan. Nelayan Jateng yang
melaut di Selat Makassar ditakut-takuti oleh nelayan tradisional yang tinggal
di sekitar Selat Makassar dengan cara memasang bom. Bom-bom tersebut ada yang
meledak beberapa meter dari kapal nelayan Jateng. Dengan demikian nelayan
Jateng berhenti mencari ikan di Selat Makassar dan kembali ke daerah asal
mereka.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI)
Kabupaten Tegal, Sumito mengemukakan bahwa pada tanggal 7 Januari 2006bom dilempar
dari perahu tradisional yang melaju dengan kecepatan tinggi di sekitar Kapal
Karunia Jaya yang dinakhodai Wasjan dan membawa 40 awak kapal.
Selain itu, kapal nelayan asal Tegal juga ditolak
dan Pekalongan di Selat Makassar dan Kapal
Motor Mina Fajar Indah juga dibom sekelompok orang. Dianataranaya ada bom yang dipasang mengenai
kapal nelayan asal Pemalang, tetapi tak ada korban jiwa.
Perairan Selat Bali
Surat
Keputusan (SK) Gubernur nomor 9 tahun 1983 tentang larangan nelayan andon yang
menggunakan alat purse scine (Jaring yang ditarik dengan kapal mesin) dilarang
mencari ikan di Selat Bali perlu penyempurnaan, karena menimbulkan diskriminasi
antar nelayan di Jatim dan menimbulkan kecemburuan sosial para nelayan yang
ingin menangkap ikan di selat tersebut. Permasalahan nelayan andon juga terkait
dengan SKB Gubernur Jatim dan Gubernur Bali tahun 1992.
Nelayan
andon adalah nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut dengan
menggunakan kapal perikanan berukuran tidak lebih dari 30 gross tonnage (GT)
atau mesinnya yang berkekuatan tidak lebih dari 90 daya kuda (DK). Daerah
penangkapan nelayan tersebut berubah-ubah atau berpindah-pindah sehingga
nelayan andon berpangkalan atau berbasis sementara waktu tetapi dalam waktu
yang relatif lama dipelabuhan perikanan di luar daerah asal nelayan tersebut. Pemanfaatan
Sumber Daya Ikan (SDI) secara berpindah pindah ini jika tidak ditata dan
dikendalikan akan berpeluang menimbulkan konflik antara sesama nelayan serta
tidak sejalan dengan prinsip pengelolaan SDI secara terencana.
Sesuai
SK Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.13/MEN/2004 tentang Pedoman
Pengendalian Nelayan Andon Dalam Rangka Pengelolaan Suberdaya Ikan, maka
nelayan andon dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan diwilayah pengelolaan
perikanan Indonesia wajib memiliki izin yakni izin usaha perikanan (IUP) dan
surat penangkapan ikan (SPI). Disamping itu juga ada syarat bagi nelayan andon
yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan kapal perikanan tidak
bermotor, kapal perikanan bermotor luar atau kapal perikanan bermotor yang
berukuran tidak lebih lima GT atau yang mesinnya berkekuatan tidak lebih dari
15 DK, maka setiap tahunnya wajib mendaftarkan kegiatannya pada Kepala Dinas
Perikanan setempat.
Surat
Keputusan (SK) Gubernur nomor 9 tahun 1983 tentang larangan nelayan andon yang
menggunakan alat purse scine dilarang mencari ikan di Selat Bali dan batasan
jumlah kapal nelayan yang ada sejumlah 283 kapal dengan rincian 190 untuk kapal
nelayan Jatim dan sisanya untuk kapal nelayan Bali, sesungguhnya karena kondisi
SDI di perairan selat Bali sudah berkurang bila dibandingkan dengan kemampuan
tangkap nelayan yang sudah melampui over purse scine.
Bila
perairan mencapai over purse scine maka pemerintah berhak untuk membatasi
jumlah kapal nelayan. Pembatasan tersebut diatur oleh pemerintah pusat yang
diwakili oleh Gubenur juga pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk
membatasi.
Kasus
yang terjadi pada nelayan andon dari Lamongan yang menangkap ikan di Kabupaten
Banyuwanngi dibatasi sebanyak 190 kapal. Dengan bertambahnya jumlah kapal
nelayan andon tersebut dan belum lagi ditambah dari daerah lain, hal ini dapat
memicu terjadinya pertikain antar nelayan. Sebenarnya nelayan andon itu
diperbolehkan menangkap ikan diselatan Selat Bali dengan syarat hasil tangkapan
harus di jual ke Muncar. Oleh karena itu perlu dilakukan riset mengenai apakah jumlah
kapal nelayansebanyak 283 itu sesuai dengan kondisi perikanan yang semakin menurun
sedangkan peralatan yang dipakai para nelayan semakin canggih.
Di
negara maju perairan yang penghasilannya turun bisa ditutup sementara atau close
station selama 6 bulan untuk memberi kesempatan ikan berkembang biak lagi. Namun
para nelayan harus diberi pekerjaan lain. Tampaknya hal ini sulit dilakukan di Jatim
karena jumlah nelayan terlalu banyak sekali dan rata-rata nelayan kecil. Terlebih
lagi masalahnya bahwa para nelayan saat telah menggunakan alat tangkap purse
scine melebihi ketentuan yang ada yakni ketentuannya panjang maksimal 300 meter
dan lebar 60 meter. Fakta di lapangan panjangnya mancapai 600 meter lebar 60
meter. Hal ini yang membuat kerusakan hayati perkembangan ikan di selat Bali
bila tidak ditangani dengan serius.
Sumber Konflik
Ketika nelayan dengan alat tangkap yang sangat
terbatas dan menghasilkan tangkapan ikan yang secara minimal, maka dorongan
untuk melakukan praktik penangkapan secara destruktif menjadi besar. Akibatnya
konflik orientasi pun sering terjadi. Tentu aspek ekonomi ini juga mesti
diiringi dengan aspek sosial budaya yaitu dengan melakukan pengkayaan
pengetahuan dan pola sikap para nelayan terhadap sumberdaya laut yang di
beberapa tempat sudah mulai bergeser.
Perebutan sumberdaya ikan yang semakin langka
menjadi salah satu akar konflik perikanan saat ini. Tampaknya berdasarkan beberapa
kasus bentrok nelayan antar daerah di atas, di hampir semua wilayah perairan
pantai yang telah mencapai ambang batas padat tangkap ikan (over fishing)
sangat berpotensi terjadi konflik (pantura Jawa, Selat Malaka dan Riau). Adapun
pemicunya adalah berupa pelanggaran wilayah tangkap berdasarkan pemahaman atas
Undang-Undang Otonomi Daerah dan pelanggaran penggunaan teknologi penangkapan
yang telah disepakati bersama.
DKP telah melakukan identifikasi terhadap beberapa konflik
antar nelayan daerah tersebut di atas, diantara penyebab timbulnya konflik
antara lain: Kesenjangan teknologi penangkapan ikan dan kecemburuan sosial;
Pelanggaran aturan mengenai jalur penangkapan ikan dan perebutan daerah
penangkapan ikan (fishing ground); Menurunnya harga jual ikan di pasar lokal
karena masuknya kapal-kapal penangkap ikan pendatang; danKeberadaaan alat bantu
penangkapan ikan berupa lampu pada kapal Purse Seine yang dianggap berlebihan.
Arif
Satria dalam bukunya “Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir”,
mengidentifiksikan konflik nelayan menjadi empat macam. Pertama, konflik kelas, yaitu antarkelas sosial nelayan dalam
memperebutkan wilayah penangkapan, seperti konflik nelayan skala besar di
sekitar perairan pesisir yang sebenarnya diperuntukan bagi nelayan tradisional.
Kedua, konflik orientasi yang terjadi antarnelayan yang
memiliki perbedaan orientasi (jangka pendek dan panjang) dalam pemanfaatan
sumber daya, seperti konflik horizontal antara nelayan yang menggunakan bom
dengan nelayan lain yang alat tangkapnya ramah lingkungan.
Ketiga, konflik agraria akibat perebutan fishing ground.
Konflik ini dapat terjadi pada nelayan antarkelas maupun nelayan dalam kelas
sosial yang sama. Bahkan dapat juga terjadi antara nelayan dengan pihak bukan
nelayan, seperti konflik dengan para penambang pasir dan industri pariwisata.
Keempat, konflik primordial, yang menyudutkan sistem
pemerintahan otonomi dan desentralisasi kelautan. Konflik identitas tersebut
tidak bersifat murni, melainkan tercampur dengan konflik kelas maupun konflik
orientasi yang sebenarnya kerap terjadi sebelum diterapkannya otonomi daerah.
Undang-Udang
No. 31/ 2004 tentang Perikanan dibuat untuk melindungi nelayan dan sekaligus
menciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan usaha dan investasi di bidang
kelautan dan perikanan. Kebijakan pemerintah mengenai
sektor perikanan harus tetap mengacu pada upaya menjaga kelangsungan dan
pelestarian sumber daya ikan serta menghilangkan segala bentuk illegal fishing,
berpihak pada kepentingan nelayan kecil untuk meningkatkan produktivitas dan
kesejahteraan mereka bersama keluarganya. Tetapi terdapat beberapa pasal tidak jelas sehingga daerah dan
masyarakatnya bisa memberikan keragaman tafsir, di antaranya: Pasal 1. mengenai
nelayan kecil; Pasal 61. mengenai kebebasan nelayan kecil untuk melakukan
penangkapan ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Republik Indonesia
tetapi terdapat hak ulayat yang masih diakui dalam Pasal 6 ayat (2) UU No
31/2004; dan Pasal 73. dimasukkannya perwira TNI AL dalam penyidikan, karena
selama ini nelayan memahami bahwa di wilayah kedaulatan Indonesia sejauh 12 mil
(laut teritorial) hanya Polri dan PPNS tertentu yang diberi wewenang khusus untuk
melakukan penyidikan sebagaimana yang tertuang dalam UU No 8/1981 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana dan ketentuan hukum pidana lainnya.
Sedangkan, TNI-AL berhak dalam melakukan penyidikan di Perairan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI) sesuai dengan Pasal 14 UU No 5/1983 tentang Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
Penutup
Tampaknya
hampir semua wilayah perairan pantai yang telah mencapai ambang batas padat
tangkap ikan (over fishing) berpotensi konflik. Konflik nelayan antar daerah
masih berpotensi untuk terus terjadi karena masing-masing pihak bersikap
sektoral dan tidak mengacu pada undang-undang perikanan sehingga merugikan
mereka sendiri. Konflik nelayan antar-daerah itu menimbulkan kerugian besar
bagi nelayan itu sendiri karena situasi usaha menjadi tidak kondusif.
Konflik
itu seharusnya tidak terjadi jika kesepakatan yang dibuat benar-benar dilakukan
dengan musyawarah antar nelayan bersama pemerintah daerah, oleh karena itu forum komunikasi antar pemerintah
daerah perlu diaktifkan dan diefektifkan untuk menyadarkan nelayan akan makna
UU otonomi daerah.
Sosialisasi
UU No 31/2004 perlu dilakukan hingga ke daerah, khusus kepada nelayan, terutama
pengaturan daerah dan jalur penangkapan ikan, karena hal ini kerap menimbulkan
konflik. Selain itu juga mengenai UU No
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berkaitan dengan batas wilayah, karena
disebutkan kabupaten/kota mempunyai wewenang hingga 4 mil ke arah laut dan propinsi
12 mil.
Konflik sebenarnya tidak
perlu terjadi jika setiap nelayan menyadari bahwa wilayah penangkapan ikan
tidak dapat dipeta-petakan karena ikan yang menjadi target penangkapan nelayan
berkapal purse seine adalah ikan pelagis yang berpindah tempat. Tetapi
undang-undang otonomi daerah memunculkan persepsi bahwa wilayah laut adalah
menjadi milik daerah sehingga menimbulkan egosektoral dan egoperorangan bagi
stakeholder yang merasa daerahnya kaya ikan sampai pada taraf tertentu
menimbulkan friksi.
Pembuatan perangkat hukum
harusnya disertai dengan penegakan hukum.
Pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota hendaknya menyusun
kebijakan yang mengatur sektor kelautan dan perikanan dengan mempertimbangkan
kesepakatan para nelayan. Berbagai penguatan di tingkat komunitas mesti diikuti
dengan kuatnya kerjasama pemerintah lintas daerah, khususnya dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan baik dalam perencanaan, implementasi maupun pengawasan.
Kerjasama lintas daerah semakin mendesak di era otonomi daerah ini untuk
mengantisipasi terjadinya konflik baik pada tingkat masyarakat maupun
pemerintah.
Dalam
jangka panjang pemberdayaan nelayan sangat penting dalam mengantisipasi
konflik. Terutama diarahkan pada peningkatan ketahanan ekonomi rumah tangga
nelayan karena berbagai bentuk praktek penangkapan ikan secara destruktif
ternyata tidak bisa lepas dari perspektif ekonomi. Seiring dengan semakin
langkanya sumberdaya ikan, insentif untuk konservasi sudah saatnya
diintroduksi.
(suharto.,SE.,Msi)
1. Arif Satria, Pengantar
Sosiologi Masyarakat Pesisir, PT Pustaka Cidesindo, Jakarta 2002.
2. Institut Titian Perdamaian dan
TIFA, Mari Mencegah Konflik: Memahami Sistem Peringatan Dini Bebasis jaringan Komunitas,
Jakarta, Desember 2005.
3. Ichsan Malik, dkk., Konflik, Bahaya atau Peluang ?: Panduan
Latihan Menghadapi Konflik Sumber Daya Alam, BSP Kemala, Cetakan Pertama,
April 2001
4.
Bisnis
Indonesia,
Kamis, 30 Juni 2005
5.
Kompas, Kamis, 30 Juni 2005
6.
Kompas, Jumat, 16 Januari 2004
7.
Riau
post, Sabtu, 08 Juli 2006
8.
Suara Karya,
Jumat, 16 Juni 2006
9.
Sinar Harapan, 20 September
2005
10.
El Fatih A. Abdel Salam, Kerangka Teoritis Penyelesaian Konflik